Kasus Nikah Siri: Berujung Pada Penderitaan Perempuan
KETIKA soal nikah siri dipolemikkan dalam kaitan Rencana  Undang-undang Peradilan Agama, wartawan Harian Warta Kota  rupanya segera teringat kepada Haji Rhoma Irama. Tak lain karena  penyanyi dangdut yang berdakwah lewat lagu itu pernah melakukan  pernikahan siri setidaknya satu kali, dengan artis Angel Lelga. Waktu  itu sempat ada kehebohan karena sang raja dangdut itu didapati bertamu  lewat tengah malam ke ‘apartemen’ Angel. Tapi reda, setelah Rhoma  mengumumkan telah menikah siri dengan sang artis. Namun tak berapa lama,  pernikahan siri pasangan yang usianya berbeda jauh itu, berakhir dengan  perpisahan.
Koran ibukota itu mengutip komentar Rhoma Irama, “Menurut pandangan  saya, orang-orang yang membuat aturan-aturan ancaman hukum bagi orang  yang menikah atau kawin siri itu adalah orang-orang yang atheis”.  Atheis? Orang-orang Kementerian Agama yang ikut menyusun RUU itu, tidak  ber-Tuhan dong –sesuai pengertian terminologi atheis itu. Rhoma  memperjelas maksudnya dalam menggunakan istilah atheis, “Bukan tidak  beragama, tetapi tidak memihak dan tidak memahami agama”.
Pada kutub pendapat yang berbeda, Dirjen Bimas Islam Kementerian  Agama, Nazaruddin Umar, dikutip detikNews (Selasa, 16  Februari), latar belakang pengajuan RUU tentang Hukum Materil Peradilan  Agama yang antara lain memuat ketentuan pemidanaan bagi pelaku nikah  siri dan nikah kontrak, adalah masalah kemanusiaan. Banyak orang yang  memilih memilih menikah siri maupun nikah kontrak dengan dalih lebih  baik begitu daripada zina. “Alasan menghindarkan dosa zina justru bisa  menimbulkan dosa lainnya seperti penelantaran pasangan dan anak”.  Menurut sang Dirjen –yang tentunya sangat memahami agama Islam– kasus  meninggalkan pasangan begitu saja setelah pernikahan yang dicatatkan  secara resmi sangat jarang dibandingkan nikah siri atau nikah kontrak.  Satu banding seribu. Anak-anak hasil pernikahan resmi yang dicatat KUA,  lebih mudah mendapatkan hak-haknya seperti warisan, hak perwalian, dalam  pembuatan KTP, paspor serta tunjangan kesehatan dan sebagainya.
Ketua Umum PB Nahdatul Ulama, KH Hasyim Muzadi, dengan alasan sedikit  berbeda juga menolak pemidanaan pelaku pernikahan siri. Tetapi ia tidak  keberatan bila dilakukan sanksi administratif. “Tidak logis pelaku  nikah siri dihukum, sebab pada waktu yang sama, perzinaan, free  sex, dan kumpul kebo dianggap bagian dari hak azasi manusia  karena suka sama suka”. Dalam Islam, pada nikah siri itu sudah ada wali  dan dua saksi. “Secara legal syariah sudah sah, tapi belum lengkap.  Rasulullah memerintahkan akad nikah tersebut diumumkan dan diresepsikan,  walimah, sekalipun perintah itu sunah, bukan wajib”. Apakah  sunah Nabi itu tidak sederajat dengan makna pencatatan pada masa  sekarang, mengingat bahwa pada masa itu belum ada budaya tulis menulis  di tanah Arab? Sedang istilah siri itu sendiri, menurut Prof Dr Syamsul  Arifin dari Universitas Muhammadiyah Malang, berasal dari kata Arab  yakni sir yang berarti ‘diam-diam’ yang berlawanan hakekat  dengan walimah yang diperintahkan Nabi.
Dengan bahasa hukum yang lebih tegas, mantan Hakim Agung, Dr Laica  Marzuki SH, yang juga adalah pengajar Fakultas Hukum Universitas  Hasanuddin, menyatakan sepantasnyalah pelaku nikah siri dipidanakan.  Nikah siri selalu berujung pada penderitaan pada pihak perempuan. Nikah  siri “mengorbankan anak-anak perempuan kita”. Pemidanaan pelakunya  “tidak menyalahi aturan agama”. Meski berbeda pandangan mengenai  pemidanaan, Prof Dr Syamsul Arifin (Kompas, 20 Februari), “Hal  terpenting yang harus dipahami adalah tujuan keterlibatan negara dalam  hukum perkawinan adalah untuk kepastian hukum yang bemanfaat  meningkatkan jaminan hak hukum terhadap pasangan nikah dan anak yang  dihasilkannya”. Selama ini nikah siri yang dibolehkan oleh agama  dimanfaatkan sebagai modus poligami. Nikah siri di masyarakat terkait  dengan praktik nikah kontrak atau nikah mu’tah. Nikah jenis  yang disebut terakhir ini adalah tindakan seorang lelaki menikahkan diri  sendiri. KH MN Iskandar SQ pernah melakukannya atas seorang perempuan  janda yang almarhum suaminya adalah salah seorang tokoh dalam Peristiwa  Tanjung Priok 12 September 1984. Pernikahan itu menjadi sorotan publik,  tapi sejumlah tokoh agama tidak mempersalahkannya. Sidang sengketa mengenai RUU Peradilan Agama yang antara lain  menyangkut pemidanaan nikah siri, seakan mengulangi situasi pro kontra  di tahun 1973 saat RUU Perkawinan dibahas di DPR-RI.
Bersamaan dengan berbagai gerakan mahasiswa menentang korupsi dan  menuntut keadilan sosial, pada bulan September dan Oktober tahun 1973  itu sebenarnya marak juga demonstrasi pemuda-pemudi Islam menentang RUU  Perkawinan di berbagai daerah dan terutama sekali di Jakarta sendiri.  Bagi sebagian umat Islam muncul anggapan, seperti yang dinyatakan  Professor Dr HM Rasyidi dalam Harian Abadi, bahwa RUU itu  mengandung tak kurang dari 7 pasal yang merupakan “Kristenisasi dalam  selubung”. Dalam bahasa yang lebih terang lagi, anggota DPR dari Partai  Persatuan Pembangunan Amin Iskandar menyebutkan “RUU Perkawinan yang  sekarang ini hanyalah terjemahan dari peraturan yang berlaku untuk  perkawinan orang-orang Kristen”. Dikaitkannya retorika Kristenisasi  dalam masalah ini juga terpicu oleh isu bahwa RUU ini diluncurkan atas  desakan kuat Ibu Negara Siti Suhartinah Soeharto yang menurut isu itu  adalah seorang penganut agama bukan Islam. (Beberapa tahun kemudian, Ibu  Negara turut serta bersama Presiden Soeharto menunaikan Ibadah Haji).
Tetapi sebenarnya polarisasi Islam versus Kristen dalam soal RUU ini  tidak seluruhnya dapat dianggap benar, karena dalam polemik mengenai  beberapa pasal, kerap pula terjadi perbedaan di antara sesama umat.  Misalnya saja, antara kelompok Islam yang dinilai ‘fundamental’ dengan  kelompok Islam yang dianggap menghendaki ‘pembaharuan sosial’ di  kalangan umat. Ini terlihat misalnya dalam perbedaan pendapat mengenai  Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi “Pada azasnya dalam suatu perkawinan  seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan wanita hanya boleh  mempunyai seorang suami”. Sedang ayat (2) mengatur bahwa bilamana toh  ada yang menginginkan beristeri lebih dari satu ia harus mendapat  persetujuan terlebih dahulu dari isteri sahnya yang sudah ada. Mereka  yang menentang pasal ini mengatakan bahwa Islam memperbolehkan seorang  pria Muslim memiliki sampai 4 orang isteri. Dan untuk beristeri lagi  seorang laki-laki tidak perlu meminta izin isteri yang ada. Sedang  mereka yang ingin pembaharuan sosial di kalangan umat, tidak keberatan  dengan pembatasan dalam hal beristeri lebih dari satu. Toh pada  hakekatnya tidak melarang, melainkan hanya memperketat persyaratan  dengan memasukkan faktor persetujuan isteri yang sudah ada. Selain itu,  tak sedikit pula kaum perempuan yang menganut Islam, menyetujui pasal  yang menjanjikan kesetaraan dan perlindungan bagi mereka sebagai isteri  dari kesewenang-wenangan yang kerap dipraktekkan oleh sementara kaum  lelaki atas nama agama. Akan tetapi perempuan yang pasrah, lebih banyak  lagi.
Demonstrasi terbesar dan dapat disebutkan sebagai puncak dalam kaitan  ini adalah aksi di DPR yang dikenal sebagai Peristiwa Akhir Sya’ban,  pada tanggal 27 September 1973. Penamaan Peristiwa Akhir Syaban adalah  karena memang peristiwa itu terjadi tepat di hari terakhir bulan Sya’ban  tepat satu hari sebelum  memasuki bulan Ramadhan 1393 Hijriah.  Demonstrasi yang dilancarkan pemuda-pemudi Islam itu menggemparkan  karena sampai saat itu baru pertama kalinya terjadi suatu gerakan ekstra  parlementer sedemikian di gedung parlemen. Dalam satu seruan “Allahu  Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar” yang bergemuruh, ratusan demonstran  berhasil menerobos ke ruang sidang paripurna DPR memenggal jawaban  Pemerintah mengenai RUU Perkawinan tepat pada saat Menteri Agama Mukti  Ali tiba pada bagian mengenai pertunangan dalam Fasal 13, pada pukul  sepuluh lewat 7 menit di hari Kamis 27 September itu. Dan setelah itu  hampir selama dua jam ratusan anak muda, termasuk pelajar-pelajar puteri  berkebaya panjang dengan kerudung putih, ‘menguasai’ ruang sidang DPR.
Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro menanggapi dengan keras  peristiwa ini. “Jangan salah terima kalau dalam situasi bulan puasa pun  kita bertindak”, cetusnya. “Mungkin mereka berpikir, ini menghadapi  bulan puasa, jadi ABRI akan berpikir-pikir dulu kalau mau bertindak….  Puasa sih puasa. Kita juga memang mikir dua kali. Tapi kalau  membahayakan keamanan dan kepentingan negara, kita juga terpaksa  bertindak”. Lalu ia berkata lagi, “Yang saya cari, siapa nih yang  menggerakkannya”. Soemitro dalam hal ini bertindak sesuai patron  penguasa yang lazim waktu itu, yaitu mencari siapa dalang dari suatu  peristiwa. Dua tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ishak Moro dan  Yusuf Hasyim kontan bereaksi. “Saya yakin mereka bergerak secara  spontan”, ujar Yusuf Hasyim. Sedang Moro menggambarkan peristiwa itu  adalah letupan dinamika dari sejumlah anak muda yang beragama Islam,  yang tidak didalangi.
Ketika demonstrasi anti RUU Perkawinan ini masih berkepanjangan, dan  berbarengan dengan itu aksi-aksi mahasiswa mengenai modal asing dan  kesenjangan sosial juga mulai terjadi, Wakil Panglima Kopkamtib  Laksamana Laut Soedomo angkat bicara. Soedomo memperingatkan bahwa  larangan demonstrasi tetap berlaku di Indonesia. Menurut Soedomo,  demonstrasi pemuda dan pemudi Islam di DPR 27 September dan  “demonstrasi-demonstrasi yang di Bandung” akan diselesaikan secara  hukum. Untuk itu di Jakarta telah terjadi penahanan-penahanan,  setidaknya ada 13 putera dan 1 orang puteri yang ditahan. Tapi dapat  dicatat bahwa di Bandung ada berbagai demonstrasi yang terjadi secara  beruntun, baik oleh Angkatan Muda Islam yang menentang RUU Perkawinan  maupun oleh para mahasiswa untuk pokok masalah lainnya. Maka saat itu  belum terlalu jelas apa dan siapa serta yang mana yang dimaksud Soedomo.
Menghadapi front yang terlalu luas berupa berbagai aksi  dengan tema dan sasaran berbeda, Presiden Soeharto kala itu memilih  jalan kompromi mengenai RUU Perkawinan. Dalam upaya kompromi antara  kalangan kekuasaan dengan kelompok politik Islam, beberapa tokoh HMI  menjalankan peranan penengah dengan baik, sehingga kemudian berhasil  diperoleh titik temu.  Sementara itu, terhadap Fraksi Karya Pembangunan  dan DPP Golkar, dilakukan semacam tekanan oleh Pangkopkamtib Jenderal  Soemitro yang disebutkan berdasarkan perintah Presiden Soeharto.  Pimpinan-pimpinan Fraksi Karya Pembangunan dipanggil oleh Pangkopkamtib  dan diminta untuk mengubah konsepnya mengenai RUU Perkawinan dan diminta  pula mengalah menerima konsep Fraksi Persatuan Pembangunan dan atau PPP  yang merupakan gabungan partai politik ideologi Islam eks Pemilihan  Umum 1971. Meski kecewa dan merasa ‘dikhianati’ Soeharto, tak ada  pilihan lain bagi Fraksi Karya Pembangunan selain mematuhi perintah.
Praktek perkawinan poligami yang menjadi tuntutan para pemimpin  partai-partai Islam, dengan demikian diakui dan diterima dalam UU  Perkawinan yang berhasil disahkan setelah tercapainya kompromi. Tetapi  pada pihak lain, pernikahan dengan mekanisme pencatatan di Kantor Urusan  Agama diterima oleh para pemimpin politik Islam kala itu, namun tanpa  sanksi pidana bagi yang tidak melakukan pencatatan. Tidak pula ada  pengaturan mengenai pelaksanaan pernikahan yang tidak dilakukan melalui  Kantor Urusan Agama. Nikah siri –dengan segala eksesnya– pun bisa  dilakukan dan tampaknya menjadi pilihan bagi banyak kaum lelaki,  terutama bagi mereka yang ingin beristeri lebih dari satu, namun sulit  memenuhi syarat UU yang mengharuskan adanya persetujuan isteri pertama  dan atau isteri-isteri terdahulu.
Selama hasrat kaum lelaki untuk berpoligami tetap tinggi, tampaknya  nikah siri akan tetap menjadi pilihan favorit dan untuk itu akan ada  ‘perjuangan keras’ guna mempertahankan kebebasan nikah siri tanpa  pemidanaan. Namun terlepas dari itu semua, secara faktual harus diakui  bahwa hingga sejauh ini agama maupun sejumlah kebiasaan dalam  masyarakat, sejauh ini tetap menempatkan kaum perempuan dalam posisi  yang lemah. (Rum Aly).