Sabtu, 05 November 2011

Mengapa perayaan Idul Adha tidak terlalu meriah jika dibandingkan dengan perayaan Idul Fitri di negara kita

Hari raya Idul Fitri di negeri kita lebih tepat dilihat sebagai perayaan kebudayaan ketimbang perayaan keagamaan. Tentu saja dasar Idul Fitri tetap hari raya yang berdasarkan pada agama. Namun, perayaan itu berkelindan dengan keunikan dan kekhasan budaya masyarakat setempat. 

Di Timur Tengah, Idul Fitri tidak dirayakan sebesar dan semeriah seperti di sini. Perayaan terbesar di sana adalah Idul Adha yang disebut sebagai ’aidul akbar (hari raya terbesar). 
 
Di Tanah Hijâz—Arab Saudi saat ini—perayaan Idul Adha meriah karena terkait dengan ibadah haji. Sejak pra-Islam, ibadah haji memainkan peranan penting. Tak hanya ritual keagamaan, tetapi juga perekonomian dan pertemuan budaya. Di negeri Mesir juga, seperti yang pernah saya amati, Idul Adha merupakan hari besar yang dirayakan, bukan Idul Fitri, meskipun Mesir jauh dari lokasi ibadah haji. 

Pada hari raya Idul Fitri, masyarakat Mesir menyambutnya ”biasa-biasa” saja. Mereka seperti merayakan hari libur, tidak ada tradisi mudik untuk bertemu sanak saudara. Mereka memilih bertamasya, memenuhi pantai, kebun dan taman, serta tempat wisata lainnya. 

Akan tetapi, ketika Idul Adha tiba, muncul tradisi berkumpul dengan keluarga, yang biasanya dimulai dengan penyembelihan hewan kurban. Sanak saudara, kerabat, dan tetangga berkumpul untuk menyambut undangan keluarga lain yang akan memotong hewan kurban. Maka, Idul Adha pun sangat terbatas bagi mereka yang mampu: mereka yang mampu beribadah haji dan mereka yang mampu membeli serta menyembelih daging kurban. 

Dibandingkan dengan Idul Adha dan budaya di Timur Tengah, tampak ”kelebihan” Idul Fitri dan budaya di sini. Idul Fitri adalah perayaan hari besar yang egaliter dan masif karena Idul Fitri tidak berkaitan dengan kemampuan ekonomi seseorang, seperti pada berhaji atau menyembelih kurban. Idul Fitri dirayakan oleh siapa pun yang telah tuntas menunaikan ibadah puasa. Oleh karena itu, Idul Fitri lebih bisa dirayakan semua kalangan, mulai dari mereka yang tidak mampu hingga mereka yang kaya. Dengan kata lain, tidak terbatas bagi kalangan yang mapan dalam ekonomi. 

Untuk menyambut Idul Fitri, ketika ”hukum pasar” akan memaksa semua harga kebutuhan bahan pokok naik tinggi, kita diingatkan pada tradisi masyarakat yang mencoba menyiasati ”kekejaman pasar” ini. Menjelang Lebaran, harga daging melambung, sementara di hari yang fitri ini akan banyak tamu dan kerabat yang berdatangan. 

Pada tradisinya, Idul Fitri memang tak lepas dari suguhan makanan. Maka, masyarakat di kampung pun menyiasati jauh hari, misalnya dengan patungan membeli anak sapi setahun sebelumnya dengan harga yang sangat murah, dipelihara selama setahun, dan dipotong sehari sebelum Lebaran. 

Tradisi masyarakat ini lebih konkret dibandingkan dengan iming-iming diskon di mal. Kebiasaan yang tak hanya berkaitan dengan urusan daging, tetapi juga arisan untuk sandang dan bahan kebutuhan pokok. Inilah ”kearifan lokal” yang dapat kita temukan dalam Lebaran, yang nuansanya lebih egaliter dan menyentuh semua kalangan. Inilah kecerdasan masyarakat tradisional untuk menyiasati ”hukum pasar” yang semakin angkuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar